27 November 2008

Bersatulah Indonesiaku....


Sebuah lagu gambaran perasaanku terhadap tanah airku, Indonesia. Ya, nantikan! (lagu ini akan saya tampilkan di profile di fs saya)

Bersatulah Indonesiaku
Lomba Cipta Nyanyian Anak Bangsa Tahun 2008

Do= G; 4/4
Cipt : Eduard Salvatore da Silva

Intro : G C D G Em A D

G C
Pesona Alam Raya
D G
Beraneka budaya
Em A D
Bumi pertiwi Indonesia


G C
Tak akan kulupakan
D G
Tanah Air Pujaan
Em A D
Sejuta Pesona Karunia-Nya

* C D
Kini ku yakin
B Em
Sebagai harapan bangsa
Am A7
Ku harus berjuang
D D7
Wujudkan cita dan karya


Reff : G C Am D
Satukan hati satukan jiwa
G C Am D
Raih bahagia dan sukacita
B Em B Em
Bagi nusantaraku, bagi Indonesiaku
Am C D G
Demi masa depan Nusa dan Bangsa


G C Am D 2x

G C
Damai Indonesiaku
D G
Ku kan s’lalu mendukungmu
Em A D
Hingga saat akhir hayatku


* C D
Kini ku yakin
B Em
Sebagai harapan bangsa
Am A7
Ku harus berjuang
D D7
Wujudkan cita dan karya

Back to : Reff
Interlude : C Cm Bm Em Am A D

Back to *, Reff

Coda : G C Am D 2x

Tuhan itu Pemulung?




Ada satu hal di mana TUHAN tidak berkuasa untuk melakukannya" TUHAN tidak berkuasa untuk tidak menepati janjiNYA. Ia begitu setia akan janjiNYA.(Mazmur 12:7)


Suatu hari Guru sekolah minggu memberikan tugas kepada murid-muridnya: Seperti apa Allah Bapa itu? "Untuk mudahnya, kalian harus melihat Dia sebagai seorang Bapa.. seorang papi," ujar guru tsb.


Minggu berikutnya, guru tsb menagih PR dari setiap murid yang ada. "Allah Bapa itu seperti Dokter!" ujar seorang anak yang papanya adalah dokter. "Ia sanggup menyembuhkan sakit penyakit seberat apapun!"


"Allah Bapa itu seperti Guru!" ujar seorang anak yang lain. "Dia selalu mengajarkan kita untuk melakukan yang baik dan benar."


"Allah Bapa itu seperti Hakim!" ujar seorang anak yang papanya adalah hakim dengan bangga,"Ia adil dan memutuskan segala perkara di bumi."


"Menurut aku Allah Bapa itu seperti Arsitek. Dia membangun rumah yang indah untuk kita di surga!" ujar seorang anak tidak mau kalah.


"Allah Bapa itu Raja! Paling tinggi di antara yang lain!" "Allah Bapa itu pokoknya kaya sekali deh! Apa saja yang kita minta Dia punya!" ujar seorang anak konglomerat.

Guru tsb tersenyum ketika satu demi satu anak memperkenalkan image Allah Bapa dengan semangat.


Tetapi ada satu anak yang sedari tadi diam saja dan nampak risih mendengar jawaban anak2 lain. "Eddy, menurut kamu siapa Allah Bapa itu?" ujar ibu guru dengan lembut.

Ia tahu anak ini tidak seberuntung anak2 yang lain dalam hal ekonomi, dan cenderung lebih tertutup.


Eddy hampir2 tidak mengangkat mukanya, dan suaranya begitu pelan waktu menjawab,"Ayah saya seorang pemulung... jadi saya pikir... Allah Bapa itu Seorang Pemulung Ulung."

Ibu guru terkejut bukan main, dan anak-anak lain mulai protes mendengar Allah Bapa disamakan dengan pemulung. Eddy mulai ketakutan. "Eddy,"ujar ibu guru lagi. "Mengapa kamu samakan Allah Bapa dengan pemulung?"


Untuk pertama kalinya Eddy mengangkat wajahnya dan menatap ke sekeliling sebelum akhirnya menjawab,"Karena Ia memungut sampah yang tidak berguna seperti Eddy dan menjadikan Eddy manusia baru, Ia menjadikan Eddy anakNya.


"Memang bukankah Dia adalah Pemulung Ulung? Dia memungut sampah-sampah seperti saudara dan saya, menjadikan kita anak-anakNya, hidup baru bersama Dia, dan bahkan menjadikan kita pewaris kerajaan Allah.


Yohanes 3:16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.


" Efesus 2:8 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman, itu bukan hasil usahamu sendiri melainkan pemberian Allah. Our God is able! "Not by power, not by might, but by My Spirits, says the LORD" (Zach 4:6)
pondokrenungan.com

25 November 2008

Momen Ultah di Seminari

Momen ulang tahun memang istimewa sekali bagi para seminaris idi Wacana Bhakti. Kami disini bergembira bersama, merayakan hari kelahiran saudara kami di sini. Ya, setiap orang yang berulangtahun minimal mendapat 3 tugas utama hari itu, yaitu menge-bel setiap waktu sesuai jadwal kegiatan, menjadi lektor saat misa, dan menghibur komunitas di refter (ruang makan) saat makan malam.

Seperti biasa hari ini si Abin (nama samaran) ulang tahun. Pagi ini ia harus bisa bangun paling pagi dan mencet belnya supaya temen2 yang lain bangun. Eh, si Abin malah baru bangun jam 05.00, wah gawat deh dan semua komunitas terpaksa "mandi koboy" dan langsung ikut doa pagi. Wah, gawat nih gak enak banget sama komunitas.


Pas misa untungya ia bisa jadi lektor yang baik yah.. Nah tugas selanjutnya dan yang terberat adalah Abin harus bisa menghibur komunitas saat makan malam. Jdilah malam itu si Abin merencanakan akan mengadakan perlombaan minum coca-cola, siapa yang minumnya paling banyak, akan dapat hadiah dari yang ultah. Akhirnya setiap kelompok meja makan mwngirimkan satu wakilnya utnuk ikut lomba. Lomba dimulai.. smua semangat....




- Satu botol 1.5 liter habis diminum si OTONG, anak tahun pertama yang ternyata kuat juga, tapi saat itu langsung mabok sprite

- satu seperempat botal berhasil dihabiskan Malik, anak kelas 3 yang juga mabok akhirnya

- eh si Sampun, anak kelas 2 malah setengah botol pun tak mampu (huu..uuu)

- dan ternyata si Paidjo pemenangnya karena 2 botol habis dilahap. Sang pemenang mendapat hadiah utama....



....... 5 botol Coca-cola 1.5 liter..... wah smua koimunitas bersorak sorai....

Eh besok2nya pada mencret2 gara-gara mabok softdrink


aduh aneh2 aje...






14 November 2008

Masih Relevankah Selibat masa Kini?

Analisis Masalah

1. Pendahuluan
Ketika kita membicarakan apa yang disebut hidup selibat dan relevansinya di dunia dewasa ini, tentunya ada beberapa hal yang spontan muncul dalam diri kita. Mulai dari kewajibannya para imam/biarawan, sampai pandangan yang mengatakan bahwa orang selibat mengalami kehampaan dan kekeringan hidup sebagai seorang yang tidak menikah. Tetapi tahukah anda, bahwa hidup selibat sesunggunya juga salah satu pilihan hidup yang dipilih secara bebas oleh masing-masing pribadi?

2. Dasar biblis Hidup Selibat
Ketika kita menyimak makna selibat dari awal mulanya, kita akan menemukan hal-hal unik yang sungguh terjadi hingga masa kini. Tuhan kita menawarkan selibat sebagai cara hidup yang sah, bukan hanya dengan cara hidup-Nya sendiri (Yesus tidak menikah), melainkan juga dalam ajaran-Nya. Ketika Tuhan kita menekankan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan perjanjian antara suami dan isteri, dan karenanya tidak diperbolehkan untuk bercerai dan menikah lagi (bdk Mat 19:3-12), Ia mengakhirinya dengan ucapan, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Tradisi Gereja - seperti dinyatakan dalam Katekismus Gereja Katolik No. 1579 - menunjuk “demi Kerajaan Sorga” ini sebagai dasar selibat.
Hal ini jelas menggambarkan bahwa cara hidup selibat terinspirasi langsung dari Yesus sendiri, sang gembala utama. Selibat bukan semata-mata cara untuk menghindari apa yang dinamakan seksualitas. Selibat tidak menghindari hakikat manusia yang selalu terikat pada seksualitas. Toh, manusia tercpita dari hubungan seksual yang dilakukan pria dan wanita. Oleh karena itu, sebelum kita melangkah jauh untuk memahami selibat, alangkah baiknya kita memahami hakikat seksualitas yang diciptakan Tuhan sebagai anugerah bagi makluk ciptaan-Nya.


3. Hakikat Seks Menyikapi Cara Hidup Selibat
Dalam pola ciptaan Allah, seks merupakan suatu kasih karunia. Sebagaimana perkembangan ilmiah membuktikan kebijaksanaan Pencipta, kasih karunia Allah dalam seks juga menyatakan keajaiban-Nya. Seks merupakan suatu bagian yang vital untuk setiap makhluk hidup.
Banyak agama dan kebudayaan Timur yang menyangkal keindahan seks sebagai karya Allah. Mereka menganggap seks adalah najis dan merupakan suatu akibat dosa manusia. Berdasarkan keyakinan ini, mereka mengagungkan keperawanan dan pertapaan serta merendahkan pernikahan. Sedangkan menurut iman kepercayaan kita, kita percaya bahwa ciptaan Allah berlandaskan dua orde, yaitu orde penebusan dan orde pengudusan. Kedua orde ini berlaku atas tubuh dan jiwa. Apa yang telah dikuduskan dan disebut baik oleh Tuhan, hendaknya kita terima dengan pengucapan syukur dan kita hormati sebagai kasih karunia Tuhan (1Tim 4:3-4*).
Selibat tidak menjauhkan seseorang seks dari kehidupan, tetapi berusaha meminimalis peran seks dalam kehidupan, agar perhatian lebih fokus pada hal lain yang lebih diutamakan. Lari dari seks adalah salah satu tindakan melawan kodrat manusia. Dalam hal ini, para imam, biarawan/biarawati menjalani hidup selibat sebagai lambang penyerahan diri secara total kepada tugas perutusan yang dipercayakan Tuhan padanya. Sesungguhnya alasan-alasan yang diusung gereja untuk mengedapankan selibat sebagai salah satu cara hidup lebih mengarah ke hal-hal yang logis:
Y Untuk mendukung totalitas tugas pelayanan
Y selibat mengikat hidupnya dengan Gereja
Y memberikan gambaran akan kebebasan yang akan dimiliki manusia di surga kelak ketika telah dengan sempurna dipersatukan dengan Tuhan sebagai anak-Nya.
Y lebih cakap dalam menjadi Pelayan Sabda Allah - mendengarkan Sabda, merenungkan kedalamannya, mengamalkannya, dan mewartakannya dengan keyakinan sepenuh hati
Y Imam harus (murni) sebelum memberikan perayaan sakramen
Y Karya ini akan memberinya kesempatan untuk memberikan dirinya sepenuhnya demi kesejahteraan semua orang, dalam cara yang lebih penuh dan lebih konkrit.
Y Dengan kehadiran keluarga, sedikit banyak membuat konsentrasi seorang imam tidak maksimal dan ada kemungkinan terpengaruh dengan masalah intern keluarga.
Y Mengurangi potensi terjadinya tindakan koruspsi uang gereja (jika berkeluarga, harus menyisihkan uang untuk keluarga.
Y Meneladan sosok Yesus sendiri yang memilih untuk tidak menikah dan mementingkan Kerajaan Surga

Sekali lagi disampaikan bahwa dengan ini bukan berarti orang yang memilih menikah tidak turut serta dalam karya Allah, tetapi cara hidup selibat langsung memberi gambaran bantuan rahmat Tuhan sendiri menyertai manusia dalam hidupnya.
Jika ditinjau dari segi sejarahnya, kita akan menemukan titik temu yang bisa menyatakan mengapa selibat masih relevan dilakukan hingga saat ini, khusunya oleh para imam, biarawan dan biarawati.

4. Selibat dalam Sejarah
Di masa Gereja perdana, hidup selibat bagi para klerus tidaklah dimandatkan. St Paulus dalam surat pertamanya kepada St Timotius menulis, “Penilik jemaat [Uskup] haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan” (3:2) dan “Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik” (3:12). Hal ini menjelaskan bahwa pada awal mulanya, selibat tidak diwajibakan dan bukan merupakan salah satu cara hidup, apalagi cara hidup seorang pemimpin religius.
Pada perkembangaanya, tradisi ini mulai diterapkan oleh beberapa imam dan uskup yang memilih tidak menikah, sebagai wujud totalitas pelayanan. Ada pihak yang mengusulkan cara hidup selibat sebagai aturan yang harus dilakukan para imam, seperti yang dinyatakan oleh Uskup Hosius dari Cordova. Hal ini mendapatkan tentangan dari Uskup Mesir Paphnutius yang menegaskan bahwa prasyarat yang demikian akan terlalu keras dan tidak bijaksana. Sebaiknya, para klerus yang telah menikah hendaknya terus setia kepada isteri mereka, sementara yang belum menikah hendaknya memutuskan secara pribadi apakah ia hendak hidup selibat atau tidak. Jadi, tidak ada prasyarat yang dimandatkan Gereja bagi para imam untuk selibat. Perbedaan pandangan ini terus berlangsung dan peraturan yang mengikat belum jelas, diakibatkan oleh tidak adanya dasar biblis yang pasti menyatakan bahwa para klerus khususnya harus hidup selibat.
Pada Abad Pertengahan, muncul kasus-kasus penyelewengan dalam selibat para klerus, yang menimbulkan reaksi keras dari Gereja. Oleh karena itu, Paus Gregorius VII pada tahun 1975 melarang para imam yang menikah atau yang memiliki selir mempersembahkan Misa atau melakukan pelayanan-pelayanan gerejani lainnya, dan melarang kaum awam ikut ambil bagian dalam Misa atau dalam pelayanan-pelayanan liturgis lainnya yang dilayani oleh para imam yang demikian. Akhirnya, Konsili Lateran Pertama (1123), suatu konsili Gereja yang ekumenis, memandatkan selibat bagi para klerus Barat. Konsili Lateran Kedua (1139) kemudian mendekritkan Tahbisan Suci sebagai halangan dari suatu perkawinan, dengan demikian menjadikan segala usaha perkawinan oleh seorang klerus tertahbis menjadi tidak sah. Dan pada akhirnya, peraturan-peraturan mengenai selibat tampaknya menjadi jelas dan konsisten di segenap penjuru Gereja Katolik. Gereja Katolik terus-menerus meneguhkan disiplin selibat para klerus, yang paling akhir adalah dalam dekrit Konsili Vatikan Kedua “Presbyterorum ordinis” (1965), ensiklik Paus Paulus VI “Sacerdotalis Caelibatus” (1967), dan dalam Kitab Hukum Kanonik (1983).
a. Pandangan Konsili Vatikan II mengenai Selibat
Konsili Vatikan II dalam Dekrit mengenai Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (Presbyterorum ordinis) (1965) menegaskan, “Pantang sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah dianjurkan oleh Kristus Tuhan, dan di sepanjang masa, juga zaman sekarang ini, oleh banyak orang Kristen telah diterimakan dengan sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh Gereja selalu sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan lambang dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa kesuburan rohani di dunia” (No. 16). Sembari mengakui bahwa selibat tidak dituntut oleh imamat berdasarkan hakekatnya, Konsili menegaskan bahwa selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat: “Dengan menghayati keperawanan atau selibat demi Kerajaan Sorga, para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi Kristus. Mereka lebih mudah berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi, lebih bebas dalam Kristus dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya kelahiran kembali adikodrati, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara lebih luas kebapaan dalam Kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan di hadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus. Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan perkawinan penuh rahasia, yang telah diciptakan oleh Allah dan di masa depan akan ditampilkan sepenuhnya, yakni bahwa Gereja hanya mempunyai Kristus sebagai Mempelai satu-satunya. Kecuali itu mereka menjadi lambang hidup dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui iman dan cinta kasih: di situ putera-puteri kebangkitan tidak akan menikah dan dinikahkan” (Luk 20:35-36).

Lalu, masih relevankah selibat bagi Imam masa kini?

Pertanyaan ini sepertinya akan terus muncul ditengah kemajuan zaman semakin kompleks ini. Jelas, segala sesuatu yang baik, tentunya perlu untuk dipertahankan. Hal ini juga yang terjadi dengan cara hidup selibat yang dijalani para klerus atau kaum religius masa kini. Di atas kita masih dapat melihat berbagai macam manfaat dari cara hidup sebagai seorang selibater. Untuk mendukung segala tugas pelayanannya, sungguh tidak rugi juga melaksanakan praktek hidup selibat.
Sayangnya, dalam dunia kita ini, banyak orang tidak dapat menghargai disiplin selibat, entah bagi kaum klerus maupun yang lain. Kita hidup dalam masyarakat di mana media membombardir kita dengan tayangan-tayangan seksual yang tak terkendali. Jika orang tak dapat menghargai nilai-nilai keperawanan sebelum perkawinan, kesetiaan dalam hidup perkawinan, atau pengurbanan demi anak-anak, maka ia tak dapat mulai menghargai siapapun - entah laki-laki atau perempuan - yang menempuh hidup selibat sebagai bakti diri dalam panggilan.
Kita tahu bahwa godaan-godaan yang menjauhkan keinginan seseorang untuk hidup selibat makin mudah diakses akhir-akhir ini. Maraknya praktek seks bebas, pengaruh negatif internet (pornografi) dan pandangan sempit tentang hidup tidak kawin membuat banyak kalangan urung untuk memilih hidup selibat. Namun kalau kita melihat dari segi calon imam, memang ini sangat diperlukan agar tercipta totalitas pelayanan.
Mau apa dikata, perkembangan zaman cepat atau lambat, sedikit atau banyak akan mempengaruhi pola pikir seseorang tentang selibat. Tetapi hingga masa kini jika dihitung-hitung juga, akibat yang ditimbulkan lebih banyak yang positif, dengan status imam yang menjalani hidup selibat

05 November 2008



Arti sebuah perpisahan.....
Edu, apakah kamu akan pergi juga.....?

Satu peristiwa penting kembali saya alami dalam perjalanan hidupku di Wacana Bhakti. Mungkin disaat kami masing-masing (tmn2 kelas dua) sedang nyaman dengan kondisi lingkungan, eh kami malah asik dengan diri masing-masin yah. Sayangnya, saat ini angkatan 20 kembali harus sejenak tertunduk dengan perginya salah satu teman angkatan kami. Ia memilih untuk menjalani hidup sebagai seorang "biasa" di luar. Sungguh sayang, melihat kenyataan angkatan kami cuma 10 orang (sejak pertama datang 14 orang, hingga kini hilang 5 orang). Dengan ini tentunya menjadi catatan tersendiri dalam perjalananku pribadi. Namun dibalik itu semua, saya bisa berkaca dari pengalaman perpisahan ini. Saya berharap agar saya mampu menjaga motivasiku pribadi sebelum memikirkan motivasi orang lain. Sejenak saya merenung dan memikirkan kata-kata Yesus yang bilang : "Apakah engkau akan pergi juga?" Dengan penuh kerendahan hati dan penghayatan pribadiku, aku masih berani menjawab "Tidak Tuhan, aku masih di sini untuk setia". Ya semoga ku bisa wujudkan ini..




St. Pedro Armengol


Doakanlah kami

01 November 2008


Dipanggil Untuk Selamat

“Semua orang dipanggil untuk selamat. Karena imam sebagai perantara nyata keselamatan memiliki peran penting, tentunya calon imam itu penting, begitu juga keluarga sebagai penghasil calon imam”. Inilah sedikit cuplikan dari khotbah bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Julius Kardinal Darmaatmadja dalam acara Hari Orang Tua Seminaris (HOTS) di Seminari Wacana Bhakti, di kawasan Pejaten Barat, Jakarta Selatan (Minggu,12/10). Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan pihak seminari sebagai wadah sarana penghubung antara para formator dengan orang tua seminaris berkenaan dengan masa pembinaan para seminaris sebagai calon imam. Selain itu, Bapak Uskup juga menyampaikan bahwa Gereja Jakarta sedang menghadapi masalah-masalah yang begitu kompleks, sehingga sangat dibutuhkan sosok pemimpin yang berkompeten dan dekat dengan domba-dombanya. Perhatian Bapak Uskup kepada seminari menunjukan bahwa para seminaris merupakan ikon penting untuk perkembanga keuskupan dan gereja secara keseluruhan. Oleh karena itu, kegiatan ini terus diupayakan sebagai bentuk dukungan moral bagi para seminaris untuk mempersiapkan diri menjalani tugas perutusannya masing-masing kelak.

Iseng di Sore Hari

Flash