27 September 2008

The Story of St. Tarcisius


ST. TARCISIUS


Tarcisius was a twelve-year-old acolyte during one of the fierce Roman persecutions of the third century, probably during that of Valerian. Each day, from a secret meeting place in the catacombs where Christians gathered for Mass, a deacon would be sent to the prisons to carry the Eucharist to those Christians condemned dying. At one point, there was no deacon to send and so St. Tarcisius, an acolyte, was sent carrying the "Holy Mysteries" to those in prison.
On the way, he was stopped by boys his own age who were not Christians but knew him as a playmate and lover of games. He was asked to join their games, but this time he refused and the crowd of boys noticed that he was carrying something. Somehow, he was also recognized as a Christian, and the small gang of boys, anxious to view the Christian "Mysteries," became a mob and turned upon Tarcisius with fury. He went down under the blows, and it is believed that a fellow Christian drove off the mob and rescued the young acolyte.
The mangled body of Tarcisius was carried back to the catacombs, but the boy died on the way from his injuries. He was buried in the cemetery of St. Callistus, and his relics are claimed by the church of San Silvestro in Capite.

In the fourth century, Pope St. Damasus wrote a poem about this "boy-martyr of the Eucharist" and says that, like another St. Stephen, he suffered a violent death at the hands of a mob rather than give up the Sacred Body to "raging dogs." His story became well known when Cardinal Wiseman made it a part of his novel Fabiola, in which the story of the young acolyte is dramatized and a very moving account given of his martyrdom and death.
Tarcisius, one of the patron saints of altar boys, has always been an example of youthful courage and devotion, and his story was one that was told again and again to urge others to a like heroism in suffering for their faith. In the Passion of Pope Stephen, written in the sixth century, Tarcisius is said to be an acolyte of the pope himself and, if so, this explains the great veneration in which he was held and the reason why he was chosen for so difficult a mission.
Thought for the Day: Mere boys can become saints, and youth is no barrier to holiness. The call to holiness begins at baptism, and we do not have to wait for old age and gray hair to serve God. Youthful saints tell us something about sanctity, and their example is especially luminous as they dedicate their young lives to God.

St. Tarcisius is one of my favourite person because he can give his spirit for keep his faith.
Finally I will sing a song which can decribe the spirit of St. Tarcisius : (dengan nada Setia Jikustik)

I am, stiil stay here, for keep my faith....

Nikmat yang kadang "Menyesatkan"


Setiap Expo Panggilan di paroki-paroki, pasti ada bagian yang disebut "live-in". Yah, setiap seminaris dititipkan di rumah-rumah keluarga sebagai saksi hidup panggilan (wah keren benget yeh) Tapi setelah saya mengalami momen ini beberapa kali, terjadi sedikit pergeseran pandangan umat pada sosok seminaris, calon imam. Mereka punya harapan begitu besar, hingga memberikan sebanyak-banyaknya pada "para calon-calon jagoan gereja". Yah, walaupun ini bisa dijadikan salah satu bumbu pemanis pembangkit motivasi kami, rasanya jika terlalu dimanja, jadi gak enak juga yah...Sayangnya saya dan teman-teman jadi keenakan dan orientasi kami malah hal-hal materiil. Dimanja memang sesuatu yang menentramkan, tapi sebenarnya itu merupakan jalan yang cukup "menyesatkan" jika diterima terus menerus. Jadi, gimana yah memperoleh motivasi yang murni?
Wah........pengalaman yang gile..... bener.....................



Sebuah kisah menarik saya dapatkan di "Bumi Minangrua". Mungkin saya sudah sering ikut apa yang disebut LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan), tetapi jelas kali ini amat berbeda.
Perasaan campur aduk saya rasakan, namun yang jelas, saya tertarik cerita kakak kelas yang mengatakan bahwa momen LDK di Minangrua amat seru dan menantang.
Yah, saya ikut sekaligus bisa jalan-jalan ke Lampung (baru pertama kali saya keluar pulau tanpa bareng orangtua) Tapi yang saya dapatkan jelas lebih dari cukup. Bukan pelajaran biasa yang saya dapat, tapi lebih ke palajaran kehidupan yang sulit ditemukan di tempat lain.
Pengalaman membantu Pak Asep, Nelayan Minangrua, laporan tugas AMD (yang kayaknya gak penting), mungut puntung rokok di Bakauheni (sampai disangkan orang gila) mungkin sulit saya dapatkan di tempat lain. Bayangin saya baru belajar jagi penjala ikan beneran yang harus berenang ke tengah dan nyeret sampai ke pantai. Wah ternyata gak segampang itu pekerjaan yang kelihatannya mudah (kapan lagi dapet pengalaman kayak gini).
Eh, akhirnya saya berhasil nangkep cumi wah.. beneran. Saat malam saya kembali lagi, di kampung itu tidak ada listrik sama sekali dan penerangan mereka tergantung pada lampu petromaks.
Wah, lalu setelah mereka selesai sholat tarawih saya mengajar baca tulis pada Asniah, anak dari pak asep nelayan tadi. Bayangkan, Asniah sudah kelas 4 Sd tapi baca tulisnya sama sekali belum lancar. wah, memang saya jauh lebih beruntung dibanding banyak orang yang ternyata lebih susah.
Dan di akhir kunjungan saya mereka menjamu dengan makanan "kampung" yang lezatnya bukan main, yaitu cumi yang saya tangkap tadi. Wah, enak............ banget...............
Wah, intinya saya ambil banyak nilai dari kegiatan ini untuk masa depan + tambah banyak "saudara". Sisanya yah seneng pastinya bisa dapet pengalaman yang bagus banget. Semoga ini jadi

"tak ada yang seperti tampaknya"

Edu-Gonza
Mahasiswa Universitas Minangrua
Sorondai 2 - 2008
Lelang Ala Seminari



Satu kejadian "unik" lagi di seminari. Anda kenal istilah pelelangan ? Ya, hal itu juga ada di seminari. Tapi edisi pelelangan di seminari berkisar dengan baju-baju "turun-temurun" yang dananya digunakan kelas III untuk membantu dana perpisahannya dan pembuatan buku tahunan sesuai rencana satu angkatannya.


Jujur, baju yang ditawarkan kualitasnya tidak buruk dan bahkan banyak yang masih baru namun dilelang dengan harga yang amat murah. Bayangkan, satu potong baju dibuka dengan harga seribu rupiah. Wah..... murah banget dan pasti gak rugi deh. Baru-baru ini tradisi ini kembali dilakukan dan gile... seru abis. Satu baju dibuka dan penawaran dari seribu rupiah sampe setingi-tingginya.


Satu kali yang dilelang adah sepotong kaos asli Timnas Inggris yang diperoleh dari pamong seminari yang dikirim dari Amerika langsung ( Rm. Koko). Wah, menarik banget khan, namun karena ini penawaran khusus, dibuka mulai dari lima ribu rupiah.


Wah, murah banget khan..... Muncul penawaran pertama dari Ucil (nama samaran) : "Lima ribu lma ratus....." OK.


Akri tak mau kalah : Sepuluh ribu,......"

Wow, penonton menghela nafas karena keadaan semakin menegang (wuiisss...) .


Kemudian Jojon langsung menawar : "Lima belas ribu", wah keadaan semakin menegang dan harga semaiki tinggi. "


"Dua puluh ribu" , "Dua puluh lima ribu" "Tiga Puluh ribu" dan harga terus melambung tinggi.


HIngga satu saat sampai ke angka 35 ribu, saya berani-berani aje teriak : "Tiga puluh delapan ribu". Wah, semua orang kembali bersorak karena suasana pelelangan makin tegang. Eh, dibalas lagi : "Empat puluh ribu" , saya balas : "Lima Puluh ribu...", padahal saya berani-beranian doank, soalnya uang saya gak sebanyak itu sebenarnya, cuma biar seru aja.


Eh si lawan kembali membalas: "Lima puluh lima ribu" wah akhirnya saya ragu dan menyerah..


Hingg ahitungan ke tiga, tidak ada yang berani melawan lagi, akhirnya gong dipukul tanda telah terjual. Semua penonton bersorak karena sengitnya persaingan.


Yah... saya kalah saing nih, tapi saya pikir itu mungkin barang palsu dan kalau beli di pasar senen paling tidak hanya 25 ribu-an.


TApi, setelah saya tahu harga sebenarnya ternyata harganya 25 US$. Wah mahal bener, dan rival lelang saya tadi hanya beli 55 ribu. Yahh... saya menyesal setengah mati dan kami semua tertawa.


Wah.. pengalaman yang amat menarik...............

26 September 2008

Refleksi; Sebuah Kebuthan atau kewajiban?


Wah, ada hal kontradiktif yang saya alami sebagai seminaris nih. Kami dibiasakan untuk menulis refleksi atas pengalaman kami selama satu hari , yah… mirip buku harian gitu deh….. Tetapi gak sekedar buku harian, tentunya yang lebih mendalam yaitu menuliskan dan merenungkan“apa yang bisa saya ambil dari pengalaman bahagia, sedih, diterima, ditolak, suka, duka atau pengalaman unik lain. Ini ditulis pada malam hari sebelum tidur. Jelas dengan begini tujuannya, wah jelas hal yang positif banget khan dan sebenernya juga sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi.

Tapi kayaknya banyak faktor yang bikin saya tidak mampu menjaga konsistensi menulis refleksi. PR bertumpuk, belum ada ulangan, eh kacapaian belajar yang ada jadi males nulis apa-apa lg. Alhasil, refleksi terbengkalai. Apesnya refleksikan “diperiksa” tiap minggu hingga akhirnya jadi timbul istilah “kejar tayang”.

Lho, kok jadi bagini. Refleksi yang ditekakan adalah kebutuhan untuk lebih mampu merefleksikan setiap peristiwa dalam hidup, tapi yang ada malah nulis “Cuma” biar gak dimarahin pamong. Dimana makna refleksi yang diusung kalau cuma buat memenuhi “kewajiban” kalau kesadaran per pribadi-nya masih rendah.

Kalau saya boleh menilai, sebenarnya kami belum tahu sepenunya arti refleksi bagi kami pribadi, jadi yang ada hanya sekedar nulis aja tanpa dihayati. Yah, intinya sebenarnya saya sadar pentingnya refleksi, oleh karena itu saya mau belajar kesetian menulis refleksi, toh tak ada ruginya dan setidaknya saya bisa tertawa sendiri ketika melihat kembali perjalanan hidup saya yang sudah saya tulis di buku refleksi.

*****

24 September 2008




Pesantren & sendal gadungan.....




Pengalaman lucu saya . Satu waktu saya jalan-jalan ke Pasar Minggu, saya bermaksud lihat barang-barng murah lagi bagus. Eh satu saat saya berhenti di seorang penjual peci + kopiah yang tampangnya sudah tak bersemangat di bulan Rahmadan. Saya tertarik sama salah satu kopiahnya dan akhirnya saya beli. Kemudian saya pakai kopiah itu sambil meneruskan perjalanan. eh, saya jadi pusat perhatian karena kelihatan seperti anak pesantren. Yah, bagus juga sih sebenarnye, toh memang saya anak pesantren katolik.


Lalu, saya melihat sendal yang amat menarik di pinggir jalan yang diajakan oleh seorang ibu-ibu yang kali ini lebih bersemangat dibanding penjual kopiah tadi. Langsung saya tanya harganya..... :
"Berapa harganya, bu....?"
dan si ibu menjawab : "Dua puluh lima ribu aja dek"

Saya kaget karena mengira "sendal pinggir jalan" pasti murah, lagipula uang saja hanya 15.000 termasuk buat ongkos pulang.
"Yah, bu gak bisa kurang ?" saya berusaha menawar walaupun cuma berani-beranian aje. "Ya dik, ini sendal bagus dek, asli dari pabrik."

Yah, akhirnya saya hanya menatap penuh kehampaan ke arah sendal idaman saya. Entah kenapa ibu penjual itu melihat raut kesedihan di wajah saya. Sampai akhirnya muncul satu kalimat :

"Adek anak pesantren yah...?"
Saya lagsung pikir mungkin karena saya pakai kopiah yang saya beli tadi. Dengan ragu, saya jawab "iya bu....".

"Yah, kalo gitu adek mau bayar berapa?" Dengan ragu pula saya bilang : "Sepu...luh ribu yah bu? "Yah, kalo segitu mah saya rugi banyak dek...., Adek ada uang berapa....?, si ibu melanjutkan.

Saya cuma punya uang 15.000 (yang dikantong, walaupun ketika saya cek ada sekitar 20000 lagi di tas.) Yah sudah dek, 13 ribu deh. Akhirnya terjadi kesepatakan di antara kami. wah, ternyata dengan status "pesantren gadungan", saya bisa dapat harga murah. Akhirnya saya pulang dengan penuh kegembiraan.

namun di tengah kebahagian saya setelah saya pakai sendal itu baru dua hari, gambar di telapaknya sudah luntur dan wah ternyata memang sendal gadungan juga....

Lucu... rasanya bisa dapet pengalaman unik yah...

"Duc in Altum"

Sebuah pepatah latin yang mengatakan "Bertolaklah ke tempat yang dalam, agar kau bisa menilai lebih bijaksana." Sebuah kata bijak yang mendalam dan terus mebuat saya termotivasi untuk memahami suatu hal mendalam dan tak ada kata setengah-setengah. Saat seorang manusia yang gak berani jatuh, tentunya ia gak bakal berani terbang, padahal jika ia mampu terbang, ia bisa lihat pemandangan indah. Jadi manusia yang penting berani mencoba karena hal itu menunjukan kedewasaan berpikir. Sekarang ini saya juga lagi usaha agar bisa jadi orang yang dewasa menghadapi realtita (cie ile...). Yang penting enjoy aja dan jangan terlalu serius jalani hidupmu!

23 September 2008

Sebuah Perjalanan Panjang......



Suatu perjalanan panjang anak manusia yang mencari jati dirinya sebagai seorang makluk paling sempurna ciptaan Tuhan. Saya berusaha sebaik mungkin mencoba kembali mengenang dan merefleksikan perjalanan panjang hidup saya hingga saat ini.
Enam belas tahun yang lalu, tepatnya tanggal 4 Mei 1991, di Rumah Sakit St. Carolus Jakarta, lahirlah seorang anak laki-laki mungil dan lucu dengan segala kepolsan dan keluguannya tanpa dosa. Ia lahir sebagai anak yang ketiga dengan nama Eduardus Salvatore da Silva dalam keluarga kecil ini. Dengan segala kasih sayang dan perhatian yang dibeikan, saya dibesarkan dan didik dalam keluarga ini.
Waktu berganti waktu segala perhatian dan kasih sayang yang diberikan membentuk kepribadian saya. Dalam perjalanan pendidikan saya pun secara langsung dan tak langsung membentuk kepribadian saya hingga dapat menjadi seperti sekarang ini. Seperti yang sudah saya katakana di atas, bahwa saya adalah anak yang sangat aktif di berbagai bidang. Hal inilah yang mencuat dan menonjol dalam perjalanan hidup studi Nilai-nilai akademi saya di tingkat SD juga cukup baik dan konstan. Setidaknya saya bisa menembus sepuluh besar setiap acara pengambilan rapor.
Saat saya pindah saat kelas 5 SD dari SD merupakan titik balik pola pikir dan cara bertindak dalam kehidupan saya. Saya berubah menjadi seorang anak pendiam yang “alim” dan tertutup. Waktu berganti waktu ternyata saya sudah cukup mampu beradaptasi dan menyesuaikan lingkungan baru saya.. Ironisnya, ternyata saya tidak bisa kembali seperti Edu yang dulu, yang selalu aktif di setiap lingkungan pergaulannya. Saya belajar untuk bisa memiliki kepribadian yang baru yang bisa menyenangkan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Masa remaja dimulai, pengalaman baru kuterima. Sejak dini saya harus dibiasakan membangun relasi dengan banyak teman baik sejenis maupun lain jenis. Saya mengalami pencerahan yang membawa saya akhirnya memiliki kepribadian yang sungguh asli bagi saya. Dengan dorngan keluarga saya, saya mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan di gereja dan lingkungan. Organisasi kecil pertama yang saya ikuti tentu adalah Putra Altar di paroki. Ternyata dalam perjalanannya, organisasi inilah yang mengajarkan saya tentang berbagai hal. Masa remaja sungguh menjadi saat-saat yang menyenangkan dan membahagiakan. .
. Ya, kemampuan saya dalam bebagai hal meningkat seiring semakin aktifnya saya di paroki dan pergaulan dengan teman-teman frater Fransiskan. Ternyata kedekatan ini membawa suatu hal baru yang seakan menunjukan arah hidup yang sesuai dengan minat saya di kemudian hari. Saya banyak mendapat masukan dari teman-teman frater dan sharing pengalamannya tentang motivasi dan kehidupannya di seminari. “Ah, seminari? Tempat apa itu?” Timbul pertanyaan ini dalam benak saya tentang hal-hal semacam itu.
Pada akhirnya, saya menuntaskan pendidikan saya di SLTP dengan nilai yang cukup memuaskan. Saya harus mulai memutuskan masa depan saya sendiri. Entah ada angin apa, saya mencoba untuk mengikuti tes masuk Seminari Wacana Bhakti. Saya berpikir, mungkin saya akan “lebih keren” kalau jadi calon pastor. Saya mencobanya dan ternyata hasilnya diluar dugaan saya. Saya lolos tes dan diterima menjadi seorang seminaris di Wacana Bhakti. Mungkin memang tidak ada sedikit pun motivasi untuk menjadi seorang calon imam.
Dengan motivasi baru saya melangkah mencoba menghayati dan menjalani hidup panggilan. Saya termotivasi untuk belajar lebih mandiri, bertanggung jawab, dewasa, tahan banting, dan solider. Hingga kini, tak terasa kurang lebih dua tahun saya menjalani hidup panggilan ini dan jujur saya menikmati segala suka dan duka. Tentunya harapan saya semua itu dapat menjadi bekal bagi saya di kemudian hari. Tetap semangat jalani segalanya.
Sekian

Iseng di Sore Hari

Flash