Wah, ada hal kontradiktif yang saya alami sebagai seminaris nih. Kami dibiasakan untuk menulis refleksi atas pengalaman kami selama satu hari , yah… mirip buku harian gitu deh….. Tetapi gak sekedar buku harian, tentunya yang lebih mendalam yaitu menuliskan dan merenungkan“apa yang bisa saya ambil dari pengalaman bahagia, sedih, diterima, ditolak, suka, duka atau pengalaman unik lain. Ini ditulis pada malam hari sebelum tidur. Jelas dengan begini tujuannya, wah jelas hal yang positif banget khan dan sebenernya juga sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi.
Tapi kayaknya banyak faktor yang bikin saya tidak mampu menjaga konsistensi menulis refleksi. PR bertumpuk, belum ada ulangan, eh kacapaian belajar yang ada jadi males nulis apa-apa lg. Alhasil, refleksi terbengkalai. Apesnya refleksikan “diperiksa” tiap minggu hingga akhirnya jadi timbul istilah “kejar tayang”.
Lho, kok jadi bagini. Refleksi yang ditekakan adalah kebutuhan untuk lebih mampu merefleksikan setiap peristiwa dalam hidup, tapi yang ada malah nulis “Cuma” biar gak dimarahin pamong. Dimana makna refleksi yang diusung kalau cuma buat memenuhi “kewajiban” kalau kesadaran per pribadi-nya masih rendah.
Kalau saya boleh menilai, sebenarnya kami belum tahu sepenunya arti refleksi bagi kami pribadi, jadi yang ada hanya sekedar nulis aja tanpa dihayati. Yah, intinya sebenarnya saya sadar pentingnya refleksi, oleh karena itu saya mau belajar kesetian menulis refleksi, toh tak ada ruginya dan setidaknya saya bisa tertawa sendiri ketika melihat kembali perjalanan hidup saya yang sudah saya tulis di buku refleksi.
*****
0 komentar:
Posting Komentar